meratapi kesempatan yang hilang...
dua belas januari 1994... ada banyak hal yang harus saya kerjakan... berbelanja, mencuci baju, menelepon, menyeleksi surat, membongkar pakaian dari koper. saya dan suami, baru kembali dari jerman. saya bisnis sendiri dan januari adalah bulan terakhir untuk memenangkan perjalanan wisata ke australia. saya bertekad untuk memenangkannya demi gary dan saya. namun Allah mempunyai rencana lain dan memberi pelajaran yang berharga. saya merasa sangat lelah dan saya pikir itu merupakan akibat dari perjalanan jauh. begitu lelahnya sehingga saya tak mampu menyelesaikan serangkaian hal penting. saya memutuskan untuk tidur sejenak. namun saya bangun dengan tubuh yang lebih letih. begitu banyak hal yang harus saya lakukan dan begitu sedikit tenaga yang saya miliki... saya pun kembali tertidur.saya tak dapat berbuat apa-apa hari itu, juga sepanjang tahun itu. malam itu saya dilarikan ke tri-city hospital dan dirawat disana selama empat setengah bulan. hasil diagnosa menunjukkan bahwa saya terkena meningiccoccal toxemia, yakni sejenis radang selaput sumsum tulang belakang yang langka, dan itu membuat kondisi jaringan tubuh dan otot-otot saya memburuk.
selama waktu itu, khususnya dua bulan pertama saat bergumul antara hidup dan mati, saya memiliki banyak waktu untuk memikirkan daftar 'hal-hal yang harus saya lakukan'. daftar itu dulu saya anggap sangat penting. apakah berbelanja dan mencuci baju sangat penting? tidak, kami mempunyai cukup makanan dan baju bersih. bagaimana dengan membalas surat dan telepon? semua itu tetap ada pada hari esok. saya hampir mati malam itu. apa yang saya lakukan pada hari terakhir saya?
saat itu saya meminta anak-anak bermain di luar dengan alasan saya sibuk. ketika anak bungsu saya meminta dibacakan cerita, saya menjawab, 'sebentar'. 'bisakah kita pergi ke taman?' tanya anak tertua saya. 'mungkin besok', jawab saya. masalahnya esok yang saya maksud tak kunjung tiba. saya terus menunda hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup untuk melakukan apa yang tak berarti, dan saya hampir kehilangan arti hidup.
kini saya berpikir seharusnya saya memenuhi permintaan anak-anak untuk bermain bola, karena selama dua bulan berikutnya saya tak dapat bertemu mereka. saya tak dapat memeluk mereka selama hampir setahun dan mereka tak dapat lagi duduk di pangkuan saya. saya tak dapat berlari, bermain bisbol, atau bersepatu roda bersama mereka. kaki dan tangan saya terpaksa diamputasi untuk menyelamatkan nyawa saya.
namun saya beruntung karena mendapat kesempatan kedua. kini, bila anak saya bertanya, 'maukah mama membacakan cerita untukku?' saya akan menjawab, 'dengan senang hati'. dan bila mereka meminta, 'bisakah kita pergi ke taman?' saya - dari kursi roda - meminta mereka untuk bergegas masuk ke mobil.
cacat yang saya alami mengajar saya untuk tidak mengabaikan apa pun, dan terutama siapa pun. kini saya ingin memakai setiap kesempatan untuk membahagiakan orang lain. saya telah belajar melewatkan waktu bersama orang-orang yang saya kasihi.
saya tahu hari ini berarti saat ini, dan esok mungkin tak akan pernah tiba. meskipun tiba, mungkin akan terjadi perubahan yang membuat saya melakukan sesuatu yang berbeda. saya tak mau mengambil resiko. kini saya lebih suka menikmati berkat Allah dan memanfaatkan setiap kesempatan dengan sebaik-baiknya.
by: -Patty Kolb-
(dikutip dari buku 'saat hidup tak terangkai sempurna'